Seperti bayangan, waktu melintas cepat. Peristiwa pun bergerak cepat seakan tak dapat ditangkap. Modernitas memang memaksa orang bergerak cepat, atau tertinggal. Rutinitas yang senantiasa bergerak cepat berpengaruh terhadap keluarga, tempat berangkat dan kembali. Kemudian, bagaimana juga dengan komunikasi orang tua dan anak, tentu semakin berjarak. Kesempatan untuk saling memahami dan mendalami akan semakin sempit. Tak heran jika banyak orang tua yang kaget melihat perkembangan anaknya. Tiba-tiba anaknya ditangkap polisi karena narkoba, tiba-tiba jadi anak yang pendiam, pemarah, pemurung dan masih banyak hal yang tiba-tiba menunggu para orangtua di rumah.
Seperti bayangan, waktu melintas cepat. Peristiwa pun bergerak cepat seakan tak dapat ditangkap. Modernitas memang memaksa orang bergerak cepat, sibuk, padat atau tertinggal. Rutinitas yang senantiasa bergerak cepat padat tentu berpengaruh terhadap keluarga, tempat berangkat dan kembali. Kemudian, bagaimana juga dengan komunikasi orangtua dan anak, tentu semakin berjarak. Kesempatan untuk saling memahami dan mendalami akan semakin sempit. Tak heran jika banyak orangtua yang kaget melihat perkembangan anaknya. Tiba-tiba anaknya ditangkap polisi karena narkoba, tiba-tiba jadi anak yang pendiam, pemarah, pemurung, dan masih banyak hal yang tiba-tiba menunggu para orangtua dirumah.
Jika orangtua memberikan respon yang salah terhadap sesuatu yang tiba-tiba itu, malahan bisa menjadi pemicu bertambah retaknya keluarga. Kemudian bagaimana dong, cara yang efektif diantara sempitnya ruang waktu bersama keluarga ini. Jacinta F Rini punya resep jitu untuk mengatasinya. Oke, kita simak saja apa pendapatnya.
Seni Mendengarkan
Komunikasi, sesungguhnya tidak hanya terbatas dalam bentuk kata-kata. Komunikasi, adalah ekspresi dari sebuah kesatuan yang sangat kompleks: bahasa tubuh, senyuman, peluk kasih, ciuman sayang, dan kata-kata. Seni mendengarkan, membutuhkan totalitas perhatian dan keinginan mendengarkan, hingga sang pendengar dapat memahami sepenuhnya kompleksitas emosi dan pikiran orang yang sedang berbicara. Bahkan, komunikasi yang sejati, sang pendengar mampu memahami apa yang terjadi/yang dirasakan oleh lawan bicara meski dengan kata-kata yang sangat minimal.
Bagaimana Cara Mendengarkan Yang Baik?
Kita dapat menarik gambaran bagaimana suasana hati sang anak dan apa yang diharapkannya ketika ia mencoba “berkomunikasi” dengan sang ibu, dan bagaimana keadaan 'hati' anak setelah itu? Kejadian tersebut tampaknya sangat umum terjadi di mana-mana, di hampir setiap keluarga. Memang, tidak ada orangtua sempurna, karena setiap orangtua memiliki masalahnya masing-masing hingga seringkali memblokir hubungan positif yang seharusnya terjalin antara mereka dengan anak-anak. Tapi, bukan berarti hal itu dapat selalu dimaklumi, bukan? Bagaimanapun, setiap kita para orangtua, perlu diingatkan kembali, bagaimana cara 'mendengarkan' anak kita.
Fokuskan perhatian pada anak
Pada saat anak mencoba mengatakan sesuatu, berilah perhatian sepenuhnya pada ceritanya. Untuk itu, alangkah baiknya jika kita mengalihkan perhatian sejenak dari film atau sinetron yang sedang ditonton, majalah, koran, atau dari pekerjaan yang sedang dihadapi. Tataplah langsung di matanya sambil memberi kesan bahwa kita benar-benar siap memperhatikan ceritanya, dan mendorongnya untuk bercerita.
Re-statement, mengulangi cerita anak untuk menyamakan pengertian
Tahanlah diri untuk tidak menginterupsi ceritanya sampai anak selesai bercerita. Ketika anak selesai bercerita, cobalah memberikan kesimpulan berdasarkan hasil tangkapan kita terhadap ceritanya. Pola ini, memberikan feedback bagi orangtua dan anak, apakah kita benar-benar telah memahami apa yang diceritakan atau apa yang sebenarnya ingin diungkapkan oleh anak.
Menggali perasaan dan pendapat anak akan masalah yang sedang dihadapi
Kita boleh bertanya pada mereka : “bagaimana perasaan adek, waktu itu....”; cara ini jauh lebih baik ketimbang menjatuhkan penilaian subyektif atas diri mereka “ah, kamu pasti takut! Kamu kan penakut....” atau “ah, paling kamu menangis...kan kamu cengeng” atau “kamu nggak menangis, kan? Anak mama/papa pemberani, tentu tidak pernah menangis!”. Penilaian tersebut malah membuat anak frustrasi karena mereka mengharap orangtua bisa mengerti perasaan mereka, bukan menilai sikap dan perasaan mereka. Selain itu, penilaian subyektif orangtua yang datang terlalu cepat, bisa membuat anak menarik diri untuk tidak lebih lanjut menceritakan perasaan yang sebenarnya, karena orangtua sudah punya anggapan tertentu. Misal, anak itu sebenarnya takut ketika berhadapan dengan teman sekolah yang lebih besar badannya dan suka mengganggunya, namun urung bercerita karena orang tua sudah memberi label pada sang anak sebagai “anak mama-papa pasti pemberani”. Menceritakan perasaan dan kejadian yang sesungguhnya, hanya akan membuat dirinya dimarahi atau malu karena dianggap lemah.
Bantu anak mendefinisikan perasaan
Mendengarkan sepenuhnya cerita pengalaman anak, baik itu menyedihkan dan menyenangkan, membuat kita berdua (dengan anak) dapat berbagi rasa dan anak pun akan merasa orangtua menghargainya. Anak akan biasa bersikap terbuka karena yakin orangtua pasti bersedia mendengarkan mereka. Jika anak masih sulit mengidentifikasi perasaan mereka, bantulah dengan mendengarkan cerita mereka sungguh-sungguh, dan melontarkan kesan seperti “wah..adek sepertinya sedih sekali” atau “kamu kelihatan sangat marah” atau “adek sepertinya sedang bosan?”. Anak akan sangat lega ketika orangtua bisa menangkap perasaan mereka. Interaksi demikian, melatih anak mengidentifikasikan perasaan mereka secara tepat.
Bertanya
Hindari sikap memaksakan pendapat, cara atau penilaian orangtua, alangkah lebih baik jika orangtua membimbing mereka dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuat mereka semakin memahami kejadian yang dialami, teman yang dihadapi, perasaan yang mereka rasakan serta sikap, tindakan yang harus mereka lakukan sebagai pemecahannya.
Mendorong semangat anak untuk bercerita
Hanya dengan memberi respon “O ya? atau "Wow!...” sudah menjadi stimulasi bagi mereka untuk makin giat bercerita. Pola ini dapat membuat anak tenang dan nyaman karena merasa orangtua memahami apa yang mereka ungkapkan.
Mendorong anak mengambil keputusan yang tepat
Jika orangtua ingin membantu anak menghadapi masalahnya, sebaiknya kita tidak mengambil alih keputusan seperti “ya sudah, besok kamu tidak usah masuk sekolah” atau, “biar mama yang hadapi si boy temanmu yang nakal, biar mama si boy tahu apa yang anaknya lakukan!". Sebaliknya, hadirkan beberapa alternatif yang membuat mereka berpikir dan memilih manakah solusi terbaik sambil membicarakan akibat-akibat yang bisa dirasakan baik oleh anak maupun oleh orang lain.
Menunggu redanya emosi anak dan mengajak berpikir positif
Jika anak masih diliputi emosi yang memuncak hingga membuatnya sulit berbicara, orangtua jangan memaksakan anak untuk segera bicara. Kita tidak akan berhasil membuatnya bercerita dan kita pun makin tidak sabar untuk tidak memberikan opini kita padanya. Konflik seringkali terjadi dan ini menyebabkan memburuknya hubungan orangtua anak. Berikan waktu untuk menyendiri sampai intensitas perasaannya mereda. Ketika emosinya mereda, anak akan lebih siap untuk diajak bicara. Sekali lagi, berusahalah untuk tidak memberikan opini kita pribadi, baik terhadap pilihan sikapnya, emosinya, dan tindakannya. Tanyakan pemikiran mereka terhadap masalah ini dan bagaimana kira-kira sikap yang sebaiknya mereka lakukan di kemudian hari. Sikap ini tidak saja menghindarkan anak dari perasaan dihakimi, namun juga membantu mereka lebih memahami kejadian/peristiwa itu secara obyektif serta menemukan nilai atau pelajaran berharga yang dapat dipetik dari kejadian itu.
Apa manfaat dari mendengarkan?
Bagi seorang anak, komunikasi bukan hanya bertujuan untuk membuat orang dewasa atau orang lain mengetahui dan memenuhi kebutuhannya. Dari komunikasi itu lah, anak dapat menarik kesimpulan, bagaimana orang dewasa memandang dirinya dan dari kesan inilah seorang anak membangun rasa percaya diri dan sense of self. Anak akan merasa dihargai, merasa percaya diri dan mengembangkan penilaian positif terhadap dirinya, ketika orangtua menaruh perhatian tidak hanya pada ceritanya, tapi juga pada pendapat, keyakinan, kesimpulan, ide-ide, perasaan, bahkan ketika pendapat tersebut tidak sesuai dengan pendapat orang tua. Sikap orangtua yang “mendengarkan” anak, membuat anak berani membuat perbedaan dan menjadi berbeda, tanpa takut dihukum, dilecehkan atau ditertawakan. Hal itulah yang menjadi salah satu landasan keberanian dan keinginan anak, untuk menjadi diri sendiri apa adanya.
Dari tanggapan-tanggapan orangtua, anak akan belajar mengenal banyak informasi dan pengetahuan, mendengar sesuatu yang berbeda dari yang dipikirkannya selama ini, melihat alternatif yang lain, menilai pendapat dan tindakannya sendiri, menilai posisi dirinya di mata orang lain, dan menarik kesimpulan apa yang harus dilakukan olehnya. Proses saling mendengarkan dan didengarkan, mengasah daya kritis dan kreativitas berpikir anak karena ketika antara anak dengan orangtua terdapat jalur 2 arah yang terbuka, maka terbuka pula akses informasi, pengetahuan, perasaan, pemikiran dan pengalaman dari kedua belah pihak. Satu sama lain, saling belajar dan saling memperkaya, saling mengenal dan semakin memahami.
Proses komunikasi antara orangtua dengan anak, sangat membantu anak memahami dirinya sendiri, perasaannya, pikirannya, pendapatnya dan keinginan-keinginannya. Anak dapat mengidentifikasi perasaannya secara tepat sehingga membantunya untuk mengenali perasaan yang sama pada orang lain. Lama kelamaan, semakin anak terlatih dalam mengenali emosi, tumbuh keyakinan dan sense of control terhadap perasaannya sendiri (lebih mudah mengendalikan sesuatu yang telah diketahui). Misal, jika anak sudah tahu bagaimana rasanya marah, sedih, kecewa, takut, kesepian, dsb. Maka akan lebih mudah bagi orangtua memberikan alternatif-alternatif cara menghadapi dan menyelesaikannya.
Mendengarkan anak secara sungguh-sungguh, membuat anak percaya pada orangtua. Hubungan mutual trust, ini membuat anak merasa lebih nyaman berada bersama orangtua, lebih memilih ‘curhat' dengan orangtua dan siap menjadi “partner” ketika orangtua yang giliran butuh didengarkan.
Evaluasi Diri
Mendengarkan dan didengarkan, adalah kunci hubungan orangtua-anak yang sangat bermanfaat, baik untuk pengembangkan kematangan emosional, kepandaian intelektual, kemampuan membina kehidupan sosial yang baik serta penanaman nilai prinsip moral yang baik pada anak. Dengan mendengar dan didengar, jalur komunikasi dua arah terbuka lebar antara orangtua dan anak, memungkinkan keduanya saling mengerti dan membuat orangtua dapat memberikan dukungan yang diperlukan oleh anak. Namun sebaliknya, jika kata-kata yang diucapkan anak hanya sekedar 'terdengar' di telinga kita, akan hilang begitu saja terbawa angin dan tidak memberikan makna serta kontribusi apapun dalam proses pertumbuhan anak. Nah, apakah kita sebagai orangtua, tega mengorbankan kualitas perkembangan dan tingkat kematangan emosional, intelektual, moral dan kemampuan sosial anak kita demi kesenangan sesaat (film yang menarik, obrolan gossip yang asik, berita yang sedang dibaca, dan lain sebagainya). Inilah saatnya kita sebagai orangtua merefleksikan dalam kehidupan sehari-hari, apakah kita sudah lebih sering mendengarkan anak. Ataukah, cerita mereka hanya terdengar sayup-sayup oleh kita.(http://perempuan.com/)
Seperti bayangan, waktu melintas cepat. Peristiwa pun bergerak cepat seakan tak dapat ditangkap. Modernitas memang memaksa orang bergerak cepat, sibuk, padat atau tertinggal. Rutinitas yang senantiasa bergerak cepat padat tentu berpengaruh terhadap keluarga, tempat berangkat dan kembali. Kemudian, bagaimana juga dengan komunikasi orangtua dan anak, tentu semakin berjarak. Kesempatan untuk saling memahami dan mendalami akan semakin sempit. Tak heran jika banyak orangtua yang kaget melihat perkembangan anaknya. Tiba-tiba anaknya ditangkap polisi karena narkoba, tiba-tiba jadi anak yang pendiam, pemarah, pemurung, dan masih banyak hal yang tiba-tiba menunggu para orangtua dirumah.
Jika orangtua memberikan respon yang salah terhadap sesuatu yang tiba-tiba itu, malahan bisa menjadi pemicu bertambah retaknya keluarga. Kemudian bagaimana dong, cara yang efektif diantara sempitnya ruang waktu bersama keluarga ini. Jacinta F Rini punya resep jitu untuk mengatasinya. Oke, kita simak saja apa pendapatnya.
Seni Mendengarkan
Komunikasi, sesungguhnya tidak hanya terbatas dalam bentuk kata-kata. Komunikasi, adalah ekspresi dari sebuah kesatuan yang sangat kompleks: bahasa tubuh, senyuman, peluk kasih, ciuman sayang, dan kata-kata. Seni mendengarkan, membutuhkan totalitas perhatian dan keinginan mendengarkan, hingga sang pendengar dapat memahami sepenuhnya kompleksitas emosi dan pikiran orang yang sedang berbicara. Bahkan, komunikasi yang sejati, sang pendengar mampu memahami apa yang terjadi/yang dirasakan oleh lawan bicara meski dengan kata-kata yang sangat minimal.
Bagaimana Cara Mendengarkan Yang Baik?
Kita dapat menarik gambaran bagaimana suasana hati sang anak dan apa yang diharapkannya ketika ia mencoba “berkomunikasi” dengan sang ibu, dan bagaimana keadaan 'hati' anak setelah itu? Kejadian tersebut tampaknya sangat umum terjadi di mana-mana, di hampir setiap keluarga. Memang, tidak ada orangtua sempurna, karena setiap orangtua memiliki masalahnya masing-masing hingga seringkali memblokir hubungan positif yang seharusnya terjalin antara mereka dengan anak-anak. Tapi, bukan berarti hal itu dapat selalu dimaklumi, bukan? Bagaimanapun, setiap kita para orangtua, perlu diingatkan kembali, bagaimana cara 'mendengarkan' anak kita.
Fokuskan perhatian pada anak
Pada saat anak mencoba mengatakan sesuatu, berilah perhatian sepenuhnya pada ceritanya. Untuk itu, alangkah baiknya jika kita mengalihkan perhatian sejenak dari film atau sinetron yang sedang ditonton, majalah, koran, atau dari pekerjaan yang sedang dihadapi. Tataplah langsung di matanya sambil memberi kesan bahwa kita benar-benar siap memperhatikan ceritanya, dan mendorongnya untuk bercerita.
Re-statement, mengulangi cerita anak untuk menyamakan pengertian
Tahanlah diri untuk tidak menginterupsi ceritanya sampai anak selesai bercerita. Ketika anak selesai bercerita, cobalah memberikan kesimpulan berdasarkan hasil tangkapan kita terhadap ceritanya. Pola ini, memberikan feedback bagi orangtua dan anak, apakah kita benar-benar telah memahami apa yang diceritakan atau apa yang sebenarnya ingin diungkapkan oleh anak.
Menggali perasaan dan pendapat anak akan masalah yang sedang dihadapi
Kita boleh bertanya pada mereka : “bagaimana perasaan adek, waktu itu....”; cara ini jauh lebih baik ketimbang menjatuhkan penilaian subyektif atas diri mereka “ah, kamu pasti takut! Kamu kan penakut....” atau “ah, paling kamu menangis...kan kamu cengeng” atau “kamu nggak menangis, kan? Anak mama/papa pemberani, tentu tidak pernah menangis!”. Penilaian tersebut malah membuat anak frustrasi karena mereka mengharap orangtua bisa mengerti perasaan mereka, bukan menilai sikap dan perasaan mereka. Selain itu, penilaian subyektif orangtua yang datang terlalu cepat, bisa membuat anak menarik diri untuk tidak lebih lanjut menceritakan perasaan yang sebenarnya, karena orangtua sudah punya anggapan tertentu. Misal, anak itu sebenarnya takut ketika berhadapan dengan teman sekolah yang lebih besar badannya dan suka mengganggunya, namun urung bercerita karena orang tua sudah memberi label pada sang anak sebagai “anak mama-papa pasti pemberani”. Menceritakan perasaan dan kejadian yang sesungguhnya, hanya akan membuat dirinya dimarahi atau malu karena dianggap lemah.
Bantu anak mendefinisikan perasaan
Mendengarkan sepenuhnya cerita pengalaman anak, baik itu menyedihkan dan menyenangkan, membuat kita berdua (dengan anak) dapat berbagi rasa dan anak pun akan merasa orangtua menghargainya. Anak akan biasa bersikap terbuka karena yakin orangtua pasti bersedia mendengarkan mereka. Jika anak masih sulit mengidentifikasi perasaan mereka, bantulah dengan mendengarkan cerita mereka sungguh-sungguh, dan melontarkan kesan seperti “wah..adek sepertinya sedih sekali” atau “kamu kelihatan sangat marah” atau “adek sepertinya sedang bosan?”. Anak akan sangat lega ketika orangtua bisa menangkap perasaan mereka. Interaksi demikian, melatih anak mengidentifikasikan perasaan mereka secara tepat.
Bertanya
Hindari sikap memaksakan pendapat, cara atau penilaian orangtua, alangkah lebih baik jika orangtua membimbing mereka dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuat mereka semakin memahami kejadian yang dialami, teman yang dihadapi, perasaan yang mereka rasakan serta sikap, tindakan yang harus mereka lakukan sebagai pemecahannya.
Mendorong semangat anak untuk bercerita
Hanya dengan memberi respon “O ya? atau "Wow!...” sudah menjadi stimulasi bagi mereka untuk makin giat bercerita. Pola ini dapat membuat anak tenang dan nyaman karena merasa orangtua memahami apa yang mereka ungkapkan.
Mendorong anak mengambil keputusan yang tepat
Jika orangtua ingin membantu anak menghadapi masalahnya, sebaiknya kita tidak mengambil alih keputusan seperti “ya sudah, besok kamu tidak usah masuk sekolah” atau, “biar mama yang hadapi si boy temanmu yang nakal, biar mama si boy tahu apa yang anaknya lakukan!". Sebaliknya, hadirkan beberapa alternatif yang membuat mereka berpikir dan memilih manakah solusi terbaik sambil membicarakan akibat-akibat yang bisa dirasakan baik oleh anak maupun oleh orang lain.
Menunggu redanya emosi anak dan mengajak berpikir positif
Jika anak masih diliputi emosi yang memuncak hingga membuatnya sulit berbicara, orangtua jangan memaksakan anak untuk segera bicara. Kita tidak akan berhasil membuatnya bercerita dan kita pun makin tidak sabar untuk tidak memberikan opini kita padanya. Konflik seringkali terjadi dan ini menyebabkan memburuknya hubungan orangtua anak. Berikan waktu untuk menyendiri sampai intensitas perasaannya mereda. Ketika emosinya mereda, anak akan lebih siap untuk diajak bicara. Sekali lagi, berusahalah untuk tidak memberikan opini kita pribadi, baik terhadap pilihan sikapnya, emosinya, dan tindakannya. Tanyakan pemikiran mereka terhadap masalah ini dan bagaimana kira-kira sikap yang sebaiknya mereka lakukan di kemudian hari. Sikap ini tidak saja menghindarkan anak dari perasaan dihakimi, namun juga membantu mereka lebih memahami kejadian/peristiwa itu secara obyektif serta menemukan nilai atau pelajaran berharga yang dapat dipetik dari kejadian itu.
Apa manfaat dari mendengarkan?
Bagi seorang anak, komunikasi bukan hanya bertujuan untuk membuat orang dewasa atau orang lain mengetahui dan memenuhi kebutuhannya. Dari komunikasi itu lah, anak dapat menarik kesimpulan, bagaimana orang dewasa memandang dirinya dan dari kesan inilah seorang anak membangun rasa percaya diri dan sense of self. Anak akan merasa dihargai, merasa percaya diri dan mengembangkan penilaian positif terhadap dirinya, ketika orangtua menaruh perhatian tidak hanya pada ceritanya, tapi juga pada pendapat, keyakinan, kesimpulan, ide-ide, perasaan, bahkan ketika pendapat tersebut tidak sesuai dengan pendapat orang tua. Sikap orangtua yang “mendengarkan” anak, membuat anak berani membuat perbedaan dan menjadi berbeda, tanpa takut dihukum, dilecehkan atau ditertawakan. Hal itulah yang menjadi salah satu landasan keberanian dan keinginan anak, untuk menjadi diri sendiri apa adanya.
Dari tanggapan-tanggapan orangtua, anak akan belajar mengenal banyak informasi dan pengetahuan, mendengar sesuatu yang berbeda dari yang dipikirkannya selama ini, melihat alternatif yang lain, menilai pendapat dan tindakannya sendiri, menilai posisi dirinya di mata orang lain, dan menarik kesimpulan apa yang harus dilakukan olehnya. Proses saling mendengarkan dan didengarkan, mengasah daya kritis dan kreativitas berpikir anak karena ketika antara anak dengan orangtua terdapat jalur 2 arah yang terbuka, maka terbuka pula akses informasi, pengetahuan, perasaan, pemikiran dan pengalaman dari kedua belah pihak. Satu sama lain, saling belajar dan saling memperkaya, saling mengenal dan semakin memahami.
Proses komunikasi antara orangtua dengan anak, sangat membantu anak memahami dirinya sendiri, perasaannya, pikirannya, pendapatnya dan keinginan-keinginannya. Anak dapat mengidentifikasi perasaannya secara tepat sehingga membantunya untuk mengenali perasaan yang sama pada orang lain. Lama kelamaan, semakin anak terlatih dalam mengenali emosi, tumbuh keyakinan dan sense of control terhadap perasaannya sendiri (lebih mudah mengendalikan sesuatu yang telah diketahui). Misal, jika anak sudah tahu bagaimana rasanya marah, sedih, kecewa, takut, kesepian, dsb. Maka akan lebih mudah bagi orangtua memberikan alternatif-alternatif cara menghadapi dan menyelesaikannya.
Mendengarkan anak secara sungguh-sungguh, membuat anak percaya pada orangtua. Hubungan mutual trust, ini membuat anak merasa lebih nyaman berada bersama orangtua, lebih memilih ‘curhat' dengan orangtua dan siap menjadi “partner” ketika orangtua yang giliran butuh didengarkan.
Evaluasi Diri
Mendengarkan dan didengarkan, adalah kunci hubungan orangtua-anak yang sangat bermanfaat, baik untuk pengembangkan kematangan emosional, kepandaian intelektual, kemampuan membina kehidupan sosial yang baik serta penanaman nilai prinsip moral yang baik pada anak. Dengan mendengar dan didengar, jalur komunikasi dua arah terbuka lebar antara orangtua dan anak, memungkinkan keduanya saling mengerti dan membuat orangtua dapat memberikan dukungan yang diperlukan oleh anak. Namun sebaliknya, jika kata-kata yang diucapkan anak hanya sekedar 'terdengar' di telinga kita, akan hilang begitu saja terbawa angin dan tidak memberikan makna serta kontribusi apapun dalam proses pertumbuhan anak. Nah, apakah kita sebagai orangtua, tega mengorbankan kualitas perkembangan dan tingkat kematangan emosional, intelektual, moral dan kemampuan sosial anak kita demi kesenangan sesaat (film yang menarik, obrolan gossip yang asik, berita yang sedang dibaca, dan lain sebagainya). Inilah saatnya kita sebagai orangtua merefleksikan dalam kehidupan sehari-hari, apakah kita sudah lebih sering mendengarkan anak. Ataukah, cerita mereka hanya terdengar sayup-sayup oleh kita.(http://perempuan.com/)
4 komentar:
betul juga ada beberapa artikel yg membuat saya harus mawas diri jeng
kadang-kadang semua teori ini jd hilang kalo es mosi melanda,tapi semoga kita semua bisa menjadi parents yg baik tuk anak2 kita ya bun..simbok kepingin selalu mesra dan mjd sahabat bg anak2 simbok
Terima kasih tips komunikasi efektif untuk membangun komunikasi yg luar biasa kepada putra-putri kita, jika kita jeli ini bisa dipelajari untuk komunikasi kepadaNYA juga sebagai SANG MAHA PENCIPTA ALAM SEMESTA.
terimakasih, artikel ini menambah khasanah pengetahuan saya tentang komunikasi orang tua dan anak.
Bunda Arsya
Komunikasi Orang tua dan Anak
Posting Komentar